Bekasi, 1 December 2020.
Kali ini tulisan gw berawal dari keresahan.
Yap keresahan sebagai generasi minang yang khawatir akan krisis identitas.
Yap keresahan sebagai generasi minang yang khawatir akan krisis identitas.
Tahun 1990, gw udah di boyong ke Jakarta.
Saat itu masih umur 2 tahun-an.
Ikut merantau merasakan dari dinginnya Gunung Singgalang ke Panasnya Tanah Abang.
Masa kecil gw habiskan di Kampung Betawi.
Budaya Betawi melekat di aliran nadi.
Mulai dari yang namanya Rebana, Palang Pintu, Silat, sampai cara berjudi.
Logat gw pun bercitarasa Betawi.
Meskipun tinggal di kampung Betawi.
Orang Tua punya cara sendiri dalam menjaga Budaya Minang ada di nadi anaknya.
Saat di dalam rumah, mereka mewajibkan kita bicara basa Minang.
Yang selalu membekas ya diomelin pakai kata 4x4.
Semua yang dipupuk sejak kecil, akan menuai hasil saat dewasa toh.
Alhamdulillah, dari 3 orang anaknya, semua fasih berbahasa Minang.
Mantabh bukan..
Dengan bahasa Minang, gw selalu memiliki kawan di mana bertugas.
Saat kita berada jauh dari kampung halaman, dan bertemu dengan orang baru yang satu bahasa, disitu persaudaraan muncul.
Tapi, hal ini juga yang selalu bikin team gw komplen, karena prinsip gw
Dimana bumi dipijak, disitu kita cari restoran padang
Mau ke ujung timur, utara, selatan, dan penjuru mata anging lainnya.
Gw selalu mencari masakan padang.
Gw selalu mencari masakan padang.
Bukan semata untuk mencari rasa, tapi juga saudara.
Tapi,
Budaya yang di pupuk orang tua gw berbanding terbalik dengan apa yang gw lihat dan dengar.
Opini gw,
Kenapa orang minang yang tinggal di kampung, malah canggung berbahasa minang? Harusnya kami yang canggung.
Saat gw pulang kampung, beberapa orang lebih memilih berbahasa indonesia daripada berbahasa minang.
Meskipun gw jawab dengan bahasa minang, tetap saja respond nya bahasa indonesia.
Come on broh, anything wrong??.
Kegedekan gw pun semakin bertambah saat mendengarkan radio.
Penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia dengan logat minangnya.
Penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia dengan logat minangnya.
Pernah gw iseng, nanya, kenapa sih lu harus bahasa indonesia di kampung.
Alasan mereka adalah malu, malu dikatakan kampungan.
Kenapa sih harus malu berbahasa Minang?
Bukan kah itu identitas kita?
Kami yang dirantau ingin berbahasa minang,
Namun kenapa yang di kampung malah berbahasa Indonesia?
Kenapa gw getol masalah budaya.
Karena itu citarasa kita.
Saat ini gw bisa 4 bahasa daerah selain minang, betawi, sunda, dan jawa.
Asal tau saja, itu jadi nilai plus saat interview. š
"Kamu menguasai berapa bahasa?" gw jawab "6 pak", interviwer tercengang, dengan muka begini bisa banyak bahasa, "really?" "yess pak, Bahasa, Inggris, Minang, Betawi, Sunda dan Jawa".
Kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal meneruskan bahasa ini?
Jangan jadikan diri kita yang antipati dengan budaya lokal
Namun membanggakan budaya interlokal.
Jangan jadikan diri kita yang antipati dengan budaya lokal
Namun membanggakan budaya interlokal.
Salam
Cerita SiKentut
0 komentar:
Post a Comment