Moneyisasi Sertifikat Keahlian..

Jakarta, 2 September 2019.

Pfuihh,, nasib komuters.
Pergi pas pilem hidayah mulai.
Pulang pas pilem Cinta karena Cinta habis.
Kelewat terus dah ah..

Macetnya ibu kota, udah makanan sehari-hari.
Pinggang cekod-cekod sudah biasa. 
Posisi paling enak saat ini adalah ngelurusin badan. 
Arghhhhh,,, enak nyooo..

Rada berat kali ini bahasan.
Cuma ingin aja disampaikan.
Berawal dari keresahan.
Demi Nusa, Bangsa, dan Demi Pekerjaan.
#lebaymodeon

Awal mula-nya berawal dengan semangat perbaikan kualitas SDM maka dibentuklah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Keahlian ditandai dengan sertifikat berlambang Garuda.
Agar diakui secara nasional maupun internasional.

Ada Garuda di Sertifikatku
Sebenarnya sertifikasi sudah ada sejak lama.
Namun di selenggarakan oleh masing-masing kementrian.
Misalnya dibidang AMDAL dibawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
KLH menunjuk 1 lembaga untuk menilai kapabilitas profesi seseorang.
Untuk lulus ujian, perjuangannya bukan main.

Okeh next, per 2016 dikarenakan sentralisasi sertifikasi profesi maka semua sertifikasi diadakan oleh BNSP.
Saat ini banyak sekali lembaga yang memenuhi syarat dari BNSP untuk melakukan ujian sertifikasi.
Ratusan orang yang bersertifikasi dapat dicetak tiap bulan.
Mungkin niatnya baik, bagus, dan mantul.Mungkin bagus untuk capaian yang akan dilaporkan ke pak de.
Tapi kok, sekarang jadi kayak gini ya.
Tapi kok, maknanya mulai bergeser, jadi muncul paradigma di lembaga ini aja, dijamin lulus.
Asal administrasi beres, cin cay.

Awal mula hal ini masih gw anggap remeh.
Namun mulai berasa saat menanyakan "apa itu dampak? Apa itu batas wilayah studi? Apa itu batas waktu kajian?? dkk" kepada seorang yg tersertifikasi Anggota. 
Bisa jawab? Bisa lah masa anggota kagak bisa.
Dengan semangatnya kawan ini menyampaikan percis macam hafalan di peraturan.
Tergelitik, karena gw bukan tipikal manusia penghapal, tapi kudu ngerti."Konsepnya bagaimana? Misal dari rencana kegiatan sampai ujungnya. Coba donk kasih contoh simple aja gak usah ribet-ribet".
Kawan satu ini diam, bibir bergetar, tapi gak ada satu patah kata yang keluar.
Okeh, mungkin dia gugup.
Gw pernah di posisi itu.
Cooling down, sedikit ice breaking.

Setelah nyaman, kembali lagi ke masalah cara nyusun amdal..
Masih sama..
Masih diam..
Masih tak ada kata keluar..

Gw garuk-garuk kepala..
"Jujur ya, dah pernah nyusun?"
"Belum"
"Lah, Ini pengalaman banyak?"
"Iya" dan ternyata hanya pajang nama.
Kok iso.Kok LULUS. 
Gw bukan orang yang sudah paham jeroan AMDAL. Bukan.
Gw bukan orang yang mengerti isi AMDAL. Bukan
Tapi minimal kita paham konsepnya.
Dokumen  mah gampang dibuat. Cuma yang buat paham tidak dengan apa yang dibuatnya. itu pertanyaanya.
Jenjang profesi, gw mulai dari bawah.
Dari Nol, dari gak tau apa-apa.
Dididik sama senior yang kena kutukan 10 tahunan, pak Jay.
Sejak 2012, dan baru lulus ujian anggota 2015.

Udah cukup? Belum, namanya juga proses.
Masih lanjut ditempa sama (alm) pak Arif.
Di poles sama pak Yahya, pak Dadang, pak Rafeldy, Pak Taufik Afif dsb.
FAI, Pertalindo dll yang gak bisa disebutkan satu persatu.

Alhamdulillah ilmu nambah sedikit-sedikit.
2017 naik pangkat jadi ketua.

Gw sadar semua butuh proses.
Namun gw masih penasaran dengan strateginya.
Apakah berkecimpung dulu, faham, ngerti baru bayar sertifikasi.
Atau
Bayar sertifikasi dulu, berkecimpung, faham, baru ngerti?

Ibarat SIM.
Semua orang bisa punya SIM.
Tinggal DORRR.
SIM jadi, tanpa faham rambu-rambu dan etika berkendara.
Jadi lah macam saat ini.

Yang,, yang,, bangun,, udah subuh, yuk sholat dulu.
Oh ternyata gw mimpi.

Semoga mimpi gw gak jadi kenyataan.

Cerita Sikentut
Salam

Disclaimer: Tulisan ini adalah karangan fiksi, jika ada kesamaan dengan keadaan nyata maka diluar tanggung jawab penulis XD

0 komentar:

Post a Comment