Bekasi, 22 Desember 2020.

Mama, ini karena mama.
Wanita tegar, yang menutup kesedihan dengan tawanya.
Wanita hebat, yang ada dibelakang pencapaian anaknya.
Wanita yang tak pernah lelah mendedikasikan hidup untuk anaknya.

Selalu terngiang ditelinga gw, saat mama bercerita ke temannya.
Gw gak sangka, ini anak bakal kayak gini. 
Semua mata tertuju ke gw, susah membedakan antara malu dan bangga.
Ya, dari kita bertiga, mungking gw yang perilakunya 180 derajat berbeda dari abang gw.
Kl sama mpok gw? beda-beda tipis lah, beda 90 derajat.

Apasih kelakukan willy kecil yang gak buat mama geleng-geleng?
Mulai dari hobi beratem, pulang telat, joki judi kelereng, joki judi manggis, lemparin kereta pas lewat, lindas paku di rel kereta, sampai nyusun papan-papan di rel kereta, trs ditabrak kereta.. 
BUAARRRRRRR.. itu papan beterbangan macam pelem laga.
Keren kisanaaakkkk.

Makanya diatara kita bertiga, willy kecil yang selalu kena tabokan manis mama dengan senjata pamungkasnya 
Hanger plastik plus kalimat mama tuh nyesel kl habis mukulin anak.
Ya kalo nyesel, ya mbok jangan dipukul to 😂😂

Titik balik gw sebagai seorang anak adalah saat SMA.
Selain mencoba berdamai dengan kondisi ekonomi. 
Pelajaran biologi membuka mata gw akan sakitnya proses melahirkan.
Otak gw meringis saat bu atik memutarkan video detik-detik melahirkan
Saat bayi keluar dari lubang yang sekecil itu. OMG gokilll. Pasti sakit, amat sangat sakit. 
Jangankan itu, saat kita sembelit, dan pup kita keras.
Amazingkah rasanya?? melahirkan pasti itu lebih parah
Semenjak kejadian itu, gw mulai angsur-angsur berubah.

Mulai menghargai mama,
Mulai menyayangi mama,
Mulai untuk tidak membuatnya sedih.

Dalam setiap kesempatan sharing menjadi dosen tamu, gw selalu sampaikan
Kebahagiaan mama bukan melihat harta yang diperoleh anak-anaknya. Kebahagiaan mama adalah saat dia bisa ikut bercerita tentang kesuksesan anak-anaknya. 
Apakah kalian tega, melihat mama kalian tertunduk layu, hanya bisa mendengarkan, tidak bercerita tentang apa yang bisa dibanggakan dari kalian?

Saat ini gw telah memiliki jagoan kecil di keluarga.
Melihat proses melahirkan dengan mata kepala sendiri.
Seakan gw flash back  ke masa SMA, saat melihat bayi kecil keluar dari lubang sesempit itu.

Terima kasih bu atik, telah memutarkan video yang telah mengubah hidup ku.
Terima kasih hanger plastik yang telah membuatku disiplin dalam hidup.
Tanpa hanger plastik, mungkin willy kecil tidak bisa membedakan mana yg do dan mana yg don't.

Terima kasih Mama,
Jaso mandeh indak ka tabaleh
Bia babungkah perak jo ameh
(Dipopulerkan oleh Tiar Ramon, source lirik Lagu Minang Lamo)


Selamat hari ibu,
Untuk ibu, ibu dari anak ku, dan ibu-ibu lainnya.

Salam
Cerita Sikentut
Bekasi, 1 December 2020.

Kali ini tulisan gw berawal dari keresahan.
Yap keresahan sebagai generasi minang yang khawatir akan krisis identitas.

Tahun 1990, gw udah di boyong ke Jakarta.
Saat itu masih umur 2 tahun-an.
Ikut merantau merasakan dari dinginnya Gunung Singgalang ke Panasnya Tanah Abang.

Masa kecil gw habiskan di Kampung Betawi.
Budaya Betawi melekat di aliran nadi.
Mulai dari yang namanya Rebana, Palang Pintu, Silat, sampai cara berjudi. 
Logat gw pun bercitarasa Betawi.

Meskipun tinggal di kampung Betawi.
Orang Tua punya cara sendiri dalam menjaga Budaya Minang ada di nadi anaknya.
Saat di dalam rumah, mereka mewajibkan kita bicara basa Minang.
Yang selalu membekas ya diomelin pakai kata 4x4.

Semua yang dipupuk sejak kecil, akan menuai hasil saat dewasa toh.
Alhamdulillah, dari 3 orang anaknya, semua fasih berbahasa Minang.
Mantabh bukan..

Dengan bahasa Minang, gw selalu memiliki kawan di mana bertugas.
Saat kita berada jauh dari kampung halaman, dan bertemu dengan orang baru yang satu bahasa, disitu persaudaraan muncul.
Tapi, hal ini juga yang selalu bikin team gw komplen, karena prinsip gw
Dimana bumi dipijak, disitu kita cari restoran padang
Mau ke ujung timur, utara, selatan, dan penjuru mata anging lainnya.
Gw selalu mencari masakan padang.
Bukan semata untuk mencari rasa, tapi juga saudara. 

Tapi,
Budaya yang di pupuk orang tua gw berbanding terbalik dengan apa yang gw lihat dan dengar.
Opini gw, 
Kenapa orang minang yang tinggal di kampung, malah canggung berbahasa minang? Harusnya kami yang canggung.
Saat gw pulang kampung, beberapa orang lebih memilih berbahasa indonesia daripada berbahasa minang.
Meskipun gw jawab dengan bahasa minang, tetap saja respond nya bahasa indonesia.
Come on broh, anything wrong??.

Kegedekan gw pun semakin bertambah saat mendengarkan radio.
Penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia dengan logat minangnya.

Pernah gw iseng, nanya, kenapa sih lu harus bahasa indonesia di kampung.
Alasan mereka adalah malu, malu dikatakan kampungan.

Kenapa sih harus malu berbahasa Minang?
Bukan kah itu identitas kita?

Kami yang dirantau ingin berbahasa minang,
Namun kenapa yang di kampung malah berbahasa Indonesia?

Kenapa gw getol masalah budaya.
Karena itu citarasa kita.
Saat ini gw bisa 4 bahasa daerah selain minang, betawi, sunda, dan jawa.
Asal tau saja, itu jadi nilai plus saat interview. 😂
"Kamu menguasai berapa bahasa?" gw jawab "6 pak", interviwer tercengang, dengan muka begini bisa banyak bahasa, "really?" "yess pak, Bahasa, Inggris, Minang, Betawi, Sunda dan Jawa". 
Kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal meneruskan bahasa ini?
Jangan jadikan diri kita yang antipati dengan budaya lokal
Namun membanggakan budaya interlokal.

Salam 

Cerita SiKentut